Wednesday, 4 December 2013

Bintang

Terhiaslah hamparan dadamu yang gelita
Dengan gugus-gugus cahaya
Mengkhabarkan berita;
Bahawasanya nanti
Akan ada titis-titis rahmat
Mendakap resahku erat
Mendodoikan aku berlagu merdu
Berbisik halus ke telingaku
"Duhai 'nusia, hitung untungmu.."

Gelandang tua

Terbaring lesu tubuhmu di pinggir jalan raya
Dipandang jelek dari ekor mata
Diseranah mereka yang berlalu-lalang
Yang harapannya telah lama mati telah lama hilang
Terhadapmu, gelandang tua.

Ada genangan
Yang tertiris dari mata
Ada tanya
Yang kering keringatnya
Merungkai jawapan tentang dirimu
Duhai gelandang tua ,
Apa kisahmu?

Kulihat engkau selalu berjalan
Berkaki ayam dalam khayalan
Meneguk air hamis yang menghujani jiwamu
Dengan satu kebebasan
dalam ruang realiti yang sempit.

Siapa dirimu sebelumnya?
Adakah engkau seorang ayah
yang pernah membanting tulang siang malam,
Untuk menyara anak-anakmu 
Ketika mereka masih menghargaimu?
Atau adakah engkau cebis-cebis sampah
yang dari lama dulu
mencemarkan setiap insan yang hadir dalam hidupmu?

Setiap kali aku lalu di situ,
Cahaya pagi masih lagi menyinar bumi
Dan aku lihat engkau masih beradu
Lalu ke arahnya aku berdoa
Semoga peraduanmu abadi
Melenyapkan penyesalan,
Melenyapkan penyiksaan,
yang berumah di jiwamu.

Duhai gelandang tua,
Beradulah selena-lenanya
Akan kukenang dirimu
Dalam puisi-puisi rekaanku
Tentang ceritera hidupmu.


Balada terbunuhnya beringin tua di pinggir bandaraya 3.0

Beringin tua itu,
Berdekad sudah berdiri teguh
Dedaunannya telah lama gugur semua
Dahannya rapuh dipatah duga cuaca

Namun tiada tertunduk ia menyembah bumi,
Walau direnggut darinya harapan untuk terus menghijau
Memutikkan bunga dan bebuah manis
Di bawah langit ini,
Tetap ia berdiri
Ditopang jutaan akar berbudi
Yang terkambus dari cahaya
Namun membara juang hidupnya.

Terletak di dahannya sebuah pengharapan
Yang hanya tinggal satu bersangkutan
Harapan dititip akar-akar bumi
Dipesan agar terus tabah berdiri.

Dilepas pandangnya ke sebuah kejauhan
Segalanya kabur berkabus pandangan
Tidak terlihat hari muka nan bercahaya
Sedarlah ia akan dirinya,
Cuma beringin tua yang menanti diganti
teduhan-teduhan batu beralaf baru yang lebih dirai
Perginya ia tidak akan ditangisi
Perginya ia tidak akan dikenangi!

Maka terbunuhlah beringin pada hari itu,
Bersama kegemilangan hari-hari lalu
Terbunuhlah beringin pada hari itu
Di tangan-tangan penentu itu.












Monday, 2 December 2013

Hujan

Melimpahnya engkau dari awanan gebu,
Ada waktunya berlagu romantis
Memudik kenangan ke hilir ingatan
Hanyutkan aku dalam lubuk kerinduan.

Pada waktu-waktu rusuhan,
Berapi semangatmu dalam kedinginan
Manusia berlari mencari teduhan
Pepohon redha menjadi panahan.

Sesungguhnya engkau itu benar bersungguh,
Dengan peri berahimu
Medan ini bukan wayang-wayangan
Ada yang menyelami indah pekerti
Ada yang cuma basah dihujani.

Saratnya engkau dengan estetika
Menyerlah citra ciptaan milik-Nya
Bersyukur aku dengan budimu
Membasahi bumi menyubur tanah
Membasahi jiwa menyubur rasa.

Bulan

Malam ini,
Aku datang menjengukmu
Dengan jiwa yang sarat rasa
Dengan mata ditabiri kaca
Menunggu pecah bila waktunya.

Berhari-hari kutunggu labuhnya senja
Menanti waktu untuk berbicara
Namun tetap saja engkau bersembunyi
Hanyutlah aku dalam dini sepi.

Bulan,
Berkelana dirimu tidak mungkin lama
Namun sinarmu tetap kurindu
Kembalilah
Terangi malam gelita dengan cahaya jelita
Suluhkan ia ke langit jiwaku.

Pulanglah,
Di balik teduhan batu
'kan tunggu dirimu.

errrr Rindu ( Terilham dari sajak irama rindu- A Samad Said)

Berhembus dirimu bayu utara,
Tiap rembang hangat siang
Tiap remang malam beku
Terbias siksa-mu pada pesan merindu
Disiat rakus hasrat nan satu.

Aku jua berperang di sini
Melerai kelopak mawar pengharapan
Menghitung perang jiwa tak bersisa satu
Kalbu dan akal tetap enggan menyatu.

Engkau bayu utara
Sapaanmu kusambut mesra dalam jaga
Namun kenangilah duhai sang bayu,
Jangan diturut darah mudamu!

Serahkan saja pada genggam-Nya
Pemilik segala cinta dan cita
Andai tertulis tinta bersatu
Gemerlap langit bintang beribu
Tidak 'kan sirna sinar matamu.

Sajak Hari Lahir ( Buat Zarina)

Mekarnya engkau sebagai perawan
Bersama nian sebuah keharuman
Datangnya dari murni pekerti
Datangnya dari ikhlas nurani

Duhai sahabat,
selalu kurenungkan ke dalam diri
Mengapa segala keluh sudi saja engkau dengari
Mengapa di setiap khilaf selalu wujud ruang maaf
Mengapa di setiap luka segera saja engkau merawatnya

Lelah aku mencipta tanya 
Menyoal budi mencecah mega
Tunduklah aku memandang bumi
Akur kepada takdir ilahi,

Bahawasanya tak akan bertemu kita sebagai sahabat,
tanpa tersiratnya berbagai hikmat.

Bahawasanya tak akan tertulis sajak hari lahir ini
Kalau bukan untuk dirimu,
sahabat sejati.

Tetap mekarlah engkau sahabatku,
Menjadi kesuma menyebarkan harum
Kudoakan segala cita menjadi nyata
Genggaman impian 'kan menjadi kenyataan.

Mekarlah sahabatku menjadi pencinta,
Semoga wangilah dalam cinta-Nya.

Pasung

Kau memasung kakiku
Pada sebuah ketentuan,
Aku jauh dari menentukan
Bumi mana yang patut ditimpa hujan.

Kau menghembus halus deruan darahku
Saat tidurku yang aman
Demi menitip pesan,
Yang dulu tercerai
Mampu dicantum sebuah harapan.

Kau jualah yang menjadi hantu,
Memomokkan aku dengan anak kecil yang dibelenggu
Yang mati terdampar pada sebuah harapan
Yang di sini aku mampu gapaikan.

Dan kerana Kau jualah,
Aku depakan tangan
Menerima panas dan hujan
Dengan sebuah hikmat,
"Aku dibelenggu untuk melepaskan belenggu".