I
Punya satu isteri mau dakap sampai mati,
Lima anak mau makan setiap hari ,
Teratak tua digayuti cerita pusaka,
Sebidang tanah tandus untuk huma.
Kulit tangan tegang berbelulang,
Biasa mengeluarkan peluh berapa saja,
O Pak Utih , petani yang berjasa.
Tapi malaria senang menjenguk mereka,
Meski dalam sembahyang doa berjuta ,
Dan Mak Utih panggil dukun kampung,
Lalu jampi mantera serapah berulang-ulang
Betapa Pak Dukun dan bekalan pulang ,
Wang dan ayam dara diikat bersilang
= Penulis memulakan sajak ini dengan cerita seorang petani bernama Pak Utih yang penyayang dan bertanggungjawab terhadap keluarga. Pak Utih adalah simbol golongan rakyat marhaen yang tinggal di desa.Pak Utih dan keluarganya hidup dalam keadaan serba kekampungan serta melarat.
II
Di kota pemimpin berteriak-teriak ,
Pilihanraya dan kemerdekaan rakyat ,
Seribu kemakmuran dalam negara berdaulat ,
Jambatan mas kemakmuran sampai ke akhirat.
Ketika kemenangan bersinar gemilang ,
Pemimpin atas mobil maju ke depan, dadanya terbuka,
Ah, rakyat tercinta melambaikan tangan mereka.
Di mana-mana jamuan dan pesta makan,
Ayam panggang yang enak di depan,Datang dari desa yang dijanjikan kemakmuran.
Pak Utih masih menanti dengan doa,Bapak-bapak pergi ke mana di mobil besar?
= Pada rangkap kedua penulis menggambarkan golongan elitis yang terdiri daripada para pemimpin. Mereka menaburkan janji-janji manis kepada rakyat untuk memastikan kemenangan mereka dalam pilihan raya. Setelah menang , mereka disanjung rakyat yang dahulunya telah dijanjikan kesenangan dan kemakmuran . Ironinya , setelah kemenangan mereka , golongan rakyat marhaen dari desa seperti Pak Utih masih lagi melarat dan golongan pemimpin terus menikmati hasil daripada kemenangan mereka .